Penerbit: Diva Press
Penulis: Zhaenal Fanani
Edisi: Soft Cover
Bahasa: Indonesia
Harga: Rp 65.000,-
Sinopsis:
Memandang langit kota Iran serupa menjelajahi buku yang penuh halaman 
tradisi, budaya sekaligus ilmu pengetahuan yang tak pernah selesai.
Spektakuler dan menakjubkan.
Dan, seolah meneruskan langkah sejarah spketakulernya, Iran terus 
bergelut dengan episode yang menantang. Di negeri yang pernah melahirkan
 Zoroastrianisme ini, konflik dan perang bukan sebuah tradisi yang 
asing. Bahkan berlangsung hingga hari ini — meski dalam skala dan 
prioritas yang berbeda. Tapi konfrontasi, polemik dan intrik dengan 
Israel dan Amerika merupakan issu paling hangat yang mencemaskan 
negara-negara di seluruh dunia. Konon, bersama Korea Utara dan Kuba, 
Iran merupakan salah satu negara yang ditakuti Amerika. Embargo ekonomi 
tidak mampu menumbangkan negeri para Ayatullah ini ke dalam jurang 
keterpurukan. Perang dengan Irak yang menyita waktu 8 tahun, mengerahkan
 305.000 prajurit, 500.000 Pasdaran dan Milisi Basij, menurunkan 900 
tank, 1.000 kendaraan berat,  3.000 artileri,  470 pesawat, 750 
helikopter dan menelan korban 500.000 – 750.000 prajurit / milisi / 
sipil serta menghabiskan biaya 400 trilyun. Namun Iran tetap kokoh di 
atas bumi seakan tidak pernah diguncang prahara. Tampaknya Iran masih 
sulit dienyahkan dari bawah langit Tuhan.
Tapi di atas segala ironinya, perang selalu membawa berkah tersendiri bagi para pialang senjata dan media.
Dan, Rizal hadir di Iran sebagai salah seorang jurnalis sekaligus 
fotografer. Ia pernah bermimpi untuk meraih sukses seperti Zoriah 
Miller. Seorang eksklusif fotografer perang. Seorang lelaki yang 
foto-fotonya berbicara tentang kehidupan di sekitar jalur Gazza, Irak, 
Iran dan Afghanistan dan telah diterbitkan di seluruh dunia.
Bagi Rizal, dunia jurnalis dan fotografer merupakan bagian hidup. Maka 
ketika media di mana ia bekerja menawarkan perjalanan ke Iran untuk 
meliput konstelasi intrik yang tengah berlangsung antara Iran di satu 
fihak dengan Amerika dan Israel di fihak lain, ia menyambutnya sebagai 
anugerah. Inilah saat dunia di hadapannya terhenti beberapa saat, untuk 
kemudian bergulir kembali dengan dinamika yang berbeda. Sebuah dunia 
baru telah terawali.
 

 
No comments:
Post a Comment